Komisi XII DPR RI mengindikasikan potensi kerugian negara terkait suplai bijih nikel melalui jalur darat, yakni pengangkutan menggunakan truk yang tidak sesuai prosedur. Bijih nikel tersebut langsung masuk ke smelter tanpa melalui pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Dalam kunjungan kerja ke PT. IWIP di Halmahera Tengah, Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, Bambang Haryadi menyatakan bahwa potensi kebocoran penerimaan negara sangat tinggi jika tidak segera dipantau dan diperbaiki oleh pihak berwenang.
“Kami temukan hal ini, dan sampai saat ini Direktorat Jenderal Minerba kami anggap lalai. Industri smelter hanya bisa mengontrol penjualan lewat laut karena ada Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP). Namun, untuk jalur darat, pengawasan lemah. Di PT. IWIP, penjualan lewat laut hanya 30 persen, sementara 70 persen dilakukan melalui darat,” ungkap Bambang Haryadi.
Temuan lain di lapangan adalah banyak truk pengangkut bijih nikel yang tidak melewati pos penimbangan sesuai ketentuan. Hal ini berpotensi menyebabkan ketidaksesuaian data jumlah bijih nikel yang dilaporkan dan merugikan negara.
Bambang Haryadi mendorong pemerintah, khususnya Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Ditjen Gakum) Kementerian ESDM, untuk memperketat pengawasan di wilayah yang rawan pelanggaran. Sementara itu, pemerintah tengah menggencarkan program energi terbarukan dan pengembangan kendaraan listrik (EV), di mana nikel menjadi komoditas penting untuk baterai EV.
Sebagai produsen nikel terbesar di dunia, Indonesia memiliki peluang besar untuk memaksimalkan komoditas ini. Kebijakan larangan ekspor bijih nikel bertujuan mendorong hilirisasi, meningkatkan nilai tambah ekonomi, dan memastikan pasokan nikel mentah untuk smelter domestik.
DPR RI melalui Komisi Bidang Energi mendorong pemerintah untuk konsisten dengan kebijakan larangan ekspor, mempercepat hilirisasi, dan segera menerapkan tata niaga nikel, mengingat pentingnya nikel sebagai komoditas strategis di tengah ketidakpastian ekonomi global.