JAKARTA, Fraksigerindra.id — Anggota MPR RI Hj. Himmatul Aliyah, S.Sos., M.Si. menyampaikan bahwa selama ini di DPR RI tidak pernah ada wacana membahas perubahan UUD NRI 1945 terkait perubahan masa jabatan presiden. Isu mengenai perubahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode adalah isu di luar parlemen. Demikian disampaikan Himma dalam acara Sosialisasi Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dihadiri oleh para pemuda dari Perhimpunan Pemuda Tebet yang diadakan di Jakarta Selatan pada Sabtu, (30/04/2022).
Menurut anggota Komisi X DPR RI ini, isu mengenai perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode, kalau MPR tidak bersidang tidak akan terjadi. Karena untuk mengganti UUD NRI 1945, MPR RI yang terdiri atas DPR RI dan DPD RI harus bersidang, termasuk untuk mengganti ketentuan mengenai masa jabatan presiden.
“Di DPR tidak pernah bergulir wacana maupun pembahasan dalam rapat atau sidang mengenai masa jabatan presiden. Ini menjawab pertanyaan masyarakat bahwa DPR RI akan mengubah masa jabatan presiden, saya sampaikan bahwa tidak ada pembahasan itu sama sekali di DPR RI,” ujar anggota Komisi X DPR RI ini.
Pada acara tersebut, Himma juga menjelaskan mengenai Jakarta yang multietnis. Tidak hanya orang Betawi, orang-orang dari daerah seluruh Indonesia ada di Jakarta. Ini menunjukkan kalau Betawi sangat terbuka dalam menerima saudara-saudaranya sebangsa dan setanah air untuk hidup bersama-sama di Jakarta.
“Tantangan terberat kita, selain dari eksternal berupa masuknya budaya asing, adalah dari internal diri kita sendiri. Kita mudah dibenturkan oleh perbedaan-perbedaan yang ada. Padahal seharusnya perbedaan-perbedaan itu menyatukan kita,” jelas anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan DKI Jakarta II (Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan Luar Negeri) ini.
Untuk itu Himma berpesan kepada para pemuda yang hadir dalam acara tersebut agar dapat menjaga persatuan di Jakarta dengan cara hidup rukun dan damai, termasuk tidak mudah tersulut oleh isu-isu yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya dan berpotensi memecah belah masyarakat.