Anggota Komisi IV DPR RI, Darori Wonodipuro, menekankan pentingnya revisi menyeluruh terhadap Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan melalui RUU Perubahan Keempat. Hal ini disampaikannya dalam forum bersama sivitas akademika Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta, Kamis (8/5/2025).
Darori menyoroti lemahnya pengakuan terhadap hutan adat, alih fungsi kawasan yang tak terkendali, dan minimnya sistem konservasi. Ia mendorong pembentukan tim terpadu untuk memverifikasi langsung klaim tanah adat agar perizinannya tak berbelit.
“Terlalu banyak proses yang justru menyulitkan masyarakat. Kita perlu pendekatan lapangan yang konkret agar lebih cepat dan adil,” ujarnya.
Ia juga mengkritisi alih fungsi hutan yang tidak berpihak pada konservasi, serta mendorong skema kreatif seperti tanam campur sawit dan tanaman endemik. Di Pulau Jawa, ia menilai perlu ada skema perhutanan sosial yang adil, seperti pembagian hasil: 70% untuk rakyat, 20% untuk Perhutani, dan 10% untuk desa.
Darori menambahkan, banyak HPH tidak lagi aktif dan mengakibatkan ketimpangan lahan. Inventarisasi kawasan pun nilainya harus berbasis data lapangan, bukan sekadar peta.
“Kalau rakyat sudah lama tinggal di lahan itu, jangan asal salahkan tanpa data yang akurat,” tegasnya.
Ia juga mendorong adanya skema pendanaan konservasi yang terbuka, tidak hanya dikelola pemerintah, tetapi bisa diakses oleh perguruan tinggi dan LSM.
Sebagai alumni Fakultas Kehutanan UGM, Darori menegaskan bahwa RUU ini harus melibatkan masukan akademik dan publik secara luas agar tidak menimbulkan polemik di kemudian hari.
“UU ini harus menjamin dua hal: hutan lestari dan rakyat sejahtera,” pungkasnya.