JAKARTA, Fraksigerindra.id — Bank Indonesia (BI) baru-baru ini merilis posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia sebesar US$ 422,6 miliar per Februari 2021, jumlah ini menunjukan pertumbuhan 4% year on year (YoY). Angka tadi juga menunjukan kenaikan dibanding kenaikan ULN Januari 2021 yang hanya naik sebesar 2,7% YoY. BI menyebut kenaikan ULN didorong oleh pertumbuhan utang luar negeri pemerintah dan swasta.
Meski mengalami pertumbuhan, BI memandang ULN Pemerintah tetap terkendali dan dikelola dengan hati-hati. Disampaikan bahwa posisi ULN Pemerintah berada pada angka US$ 209,2 miliar, lebih rendah dibanding bulan sebelumnya yang bertengger di angka US$ 210,8 miliar. Bank Indonesia menyebut ULN Swasta lebih dominan terhadap utang ulang negeri jangka Panjang Indonesia.
Anggota Komisi XI DPR RI, Kamrussamad mengatakan bahwa posisi ULN Pemerintah sudah berada pada level over borrowing. Pandangan ini didasarkan atas tiga indikator yaitu posisi DSR (Debt Service Ratio), merupakan rasio pembayaran bunga dan cicilan utang terhadap penerimaan ekspor yang mencapai 27,86%, sementara posisi aman menurutnya berada di angka 20%.
Kemudian posisi DGDP (Debt to GDP ratio), merupakan rasio antara total ULN terhadap PDB Indonesia yang mencapai 39,7%, posisi ini nyaris menyentuh batas aman di angka 40%. Selain itu posisi DER (Debt Export Ratio) yang merupakan rasio totang ULN dengan penerimaan ekspor dengan batas aman sebesar 200%, sementara posisi Indonesia berada diangka 215.4% pada kuartal IV-2020.
“Dua indikator menunjukkan bahwa Indonesia mengalami over borrowing, ketika dilihat dari indikator DSR dan DER. Sedangkan dengan indikator DGDP, nilainya hampir melebihi batas aman sehingga diperlukan manajemen utang dengan hati-hati dan terstruktur,” ujarnya dalam rilisnya kepada redaksi Fraksigerindra.id, Sabtu (17/4)
Dalam mengelola ULN, Politisi Gerindra ini menyarankan Pemerintah agar dapat dengan mendapatkan sumber pendanaan dengan biaya yang murah, meminimalkan risiko terkait portofolio utang, dan mendukung pengembangan pasar.
Selain itu, Ia pun meminta pemerintah menjalankan pedoman arah kebijakan ULN dengan 5 cara; (1) Pengurangan pinjaman valas secara gradual dan terencana, (2) Fokus pada pinjaman domestik dengan jatuh tempo jangka menengah dan panjang, (3) Penerbitan SPN (Treasury bills dengan jatuh tempo 12 bulan) hanya untuk manajemen kas dan tidak untuk menutup defisit atau refinancing utang yang masih ada, (4) Fokus pada suku bunga tetap untuk pinjaman baru dan (5) Obligasi internasional hanya diterbitkan untuk membiayai kewajiban dalam valas, memperkuat cadangan devisa, dan menghindari crowding out pasar obligasi domestik.
“Utang merupakan konsekuensi belanja negara yang ekspansif. Dengan adanya pandemi Covid-19 maka pemerintah meningkatkan pengeluarannya untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional baik dari segi sosial, ekonomi maupun kesehatan. Selain itu, dengan kondisi yang dialami saat ini, pemerintah harus memanfaatkan momentum ini untuk dapat kembali bersaing dan menghindari opportunity loss melalui strategi-strategi kebijakan yang akan dilaksanakan,” sambungnya.
Lebih jauh dikatakan, melalui perdebatan yang muncul akibat adu argument terkait perbandingan besaran utang negara, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana strategi efektif yang dapat ditempuh agar ekonomi dapat lekas pulih kembali, bukan malah “tawuran” argumen yang dapat memicu hambatnya pemulihan ekonomi.