JAKARTA, Fraksigerindra.id — Anggota Komisi VI DPR RI Supratman Andi Agtas mengatakan bahwa sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, kepastian terhadap produk halal merupakan keniscahyaan yang dibutuhkan masyarakat. Untuk itu, Supratman mendorong pengusaha-pengusaha dalam negeri untuk dapat menciptakan peluang tersebut menjadi sesuatu yang besar.
Hal tersebut disampaikannya dalam rapat dengar pendapat umum Komisi VI DPR RI dengan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI), Ketua Presidium Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), Ketua Umum Persatuan Perusahaan Kosmetik Indonesia (PERKOSMI), di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Senin (24/1/2022).
“Industri halal saya setuju. Tadi paparan kawan-kawan sebelumnya bahwa kota adalah potensi pasar terbesar, tetapi jaminan industri halal kita apakah itu di bidang kosmetik, makanan dan minuman kita belum menjadi pemain terbesar dunia. Kita menjadi pasar iya, tetapi kalau kita lihat, kita masih kalah dengan Malaysia, Turki. Banyak yang mempersoalkan, kadang kala banyak yang salah mengerti apa sih industri halal itu,” ujarnya.
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI itu menambahkan, dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, segala hal untuk mendukung produk halal telah disederhanakan. Misalnya mengenai perizinan sertifikasi halal. Jika sebelumnya sertifikasi halal banyak dimonopoli berbagai pihak karena hanya terpusat di Majelis Ulama Indonesia pusat, sekarang sudah bisa melalui MUI di daerah.
“Saya di beberapa kesempatan sudah mendapatkan fatwa halal itu bukan dari MUI pusat, apalagi lembaga pemeriksa halal itu tidak (lagi) didominasi oleh lembaga pengawas obat dan makanan LPOM MUI, tapi boleh bekerja sama dengan surveyer Indonesia ataupun dengan perguruan-perguruan tinggi ataupun ormas-ormas keagamaan yang ditunjuk,” tambah politisi Partai Gerindra tersebut.
Terakhir, terkait dengan sistem perizinan berusaha yang terintegrasi secara elektronik atau Online Single Submission (OSS), legislator dapil Sulawesi Tengah ini mengakui masih ada sistem yang belum siap, sehingga masih memerlukan sinkronisasi antar kementerian.
“Di awal kita berpandangan bahwa dengan OSS ini akan jauh memudahkan, di beberapa kejadian jauh lebih bagus. Tetapi masih ada sistem yang belum siap, saya setuju sinkronisasi antar kementerian, makanya di undang-undang cipta kerja bapak ibu sekalian, kita beri waktu dua tahun kepada pemerintah, kemudian setelah itu kita akan pantau,” tutupnya.